Istilah logical fallacy pertama kali penulis dengan saat kuliah dulu. Saat itu, ada ahli logika yang mengomentari fallacy yang digunakan oleh salah satu politikus terkenal di Indonesia. Kemudian penyebutan istilah ini banyak diucap-ulang oleh teman-teman mahasiswa. Gaungnya sering hinggap di berbagai forum diskusi di kampus.
Apatisme mahasiswa untuk mengejar pengetahuan dari istilah logical fallacy membuat popularitasnya tidak berlangsung lama. Beberapa yang sempat meminjam istilah ini pada forum-forum diskusi, juga tidak benar-benar mempelajarinya secara utuh. Fallacies, pragmatism, dan capitalism merupakan sebagian kecil istilah yang sering dipinjam tapi tidak didasari dengan pemahaman yang cukup.
Penulis pernah membeli buku logika dan mempelajarinya. Pernah juga diminta menjadi pembicara untuk menyampaikan materi tentang (pengantar) logika. Namun setelah itu penulis justru sering menggunakan berbagai jenis fallacy, yang tergantung pada situasinya dapat digunakan untuk menjahili lawan bicara saat berdiskusi ringan atau mengobrol santai. Menyenangkan rasanya melihat lawan bicara kelimpungan saat mencoba menyanggah. Jelas ada yang salah, tetapi tidak ada seorang pun paham fallacy yang mana yang penulis gunakan. Jika ada kesempatan penulis akan recounter dengan bentuk fallacy lainnya. Sampai pada,
“Sudah lah, aku malas diskusi sama kamu”
“Aku capek berdebat dengan kamu”
atau
“Logikamu aneh”
Rasa senang memuncak saat bisa mendengar kalimat-kalimat seperti di atas. Tawa pun tidak henti-hentinya menghiasi wajah penulis dan kawan-kawan yang tidak terlibat dalam perdebatan. Jelas di dalam ilmu logika, semua argumen yang dibuat adalah bentuk-bentuk kekeliruan. Situasi dimana membuat orang awam (terhadap ilmu logika) menyerah untuk dapat meng-counter argumen fallacy merupakan the next level bullying. Opps! That’s sick.
Tenang saja. Menikmati situasi yang tergambarkan seperti di atas sangat jarang dilakukan penulis. Karena mencari titik lemah seseorang lalu memojokkannya, bukanlah suatu perbuatan bijak. Meskipun penulis juga tidak mengelak jika situasi itu kadang bisa mengurangi stress. Ah, sudah lah..
Suatu hari, penulis sempat ingin menjahili kawan dalam satu organisasi. Mengingat kawan tersebut dulu pernah juga mengisi materi logika, tentu tidak akan mudah. Tetapi ada hal yang sepertinya dapat mengundang gelak tawa, maka penulis pun beraksi di dalam grup whatsapp.
Bagaimana pun terakhir ia mengisi logika pada 2 tahun lalu. Penulis beberapa hari lalu masih mengisi materi tersebut. Tentu ingatan masih fresh. Penulis pikir sepertinya ini akan berjalan lancar.
Hasil yang terjadi ternyata berkebalikan dari harapan. Ia pun berhasil menebak fallacy yang digunakan dan melakukan counterargument yang baik. Rupanya kawan satu ini dalam kondisi mood yang buruk. Ia melanjutkan pembicaraan dengan mempertanyakan kapasitas penulis sebagai pengisi logika. Memberi kritik dan menilai bahwa penggunaan fallacy bagi seorang pengajar logika adalah hal yang memalukan. Membuat penulis tertegun, speechless.
“Ah bukan begitu maksudnya. Tujuannya tidak lebih hanyalah untuk bercanda”, ini yang ingin diucapkan tapi tak mampu keluar. Situasinya terlalu rumit. Inilah saat dimana penulis tersandung oleh logical fallacy. Alat bully canggih, yang berubah menjadi senjata makan tuan yang buruk.