Meningkatkan Kesadaran Budaya Makan Panganan Lokal di Hari Pangan Dunia

sumber gambar : jogja.tribunnews.com

Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 16 Oktober 2015, kita memperingati Hari Pangan Dunia. Di hari ini banyak komunitas, organisasi, maupun instansi di Indonesia juga merayakannya dengan tema yang hampir serupa, yaitu ‘Gerakan Pangan Lokal’. Sebuah gerakan yang bertujuan untuk menyadarkan kembali masyarakat mengenai pentingnya untuk melestarikan budaya memakan panganan lokal. Selain berhubungan dengan usaha mewujudkan kelestarian budaya, gerakan ini juga dilaksanakan sebagai bentuk peduli komunitas tertentu akan kesejahteraan petani dan penjual panganan lokal.

Untuk lebih jelasnya saya ingin memaparkan satu per satu. Kita mulai dari pernyataan pertama, yaitu peduli kesejahteraan petani. Panganan lokal, biasanya dibuat dengan bahan baku dari hasil tani para petani lokal. Mungkin beberapa juga ada yang masih impor, namun kebanyakan yang ada di lapangan masih menggunakan hasil tani lokal. Salah satu hasil tani yang banyak dipakai untuk membuat panganan lokal adalah dari umbi-umbian. Pernah di sebuah seminar, seorang pemateri ‘menyentak’ peserta yang hadir. Pasalnya beliau hafal begitu banyak jenis umbi-umbian beserta nama lokalnya dan mengetahui berbagai karakteristik dari ketela-ketela tersebut. Peserta yang semuanya mahasiswa pertanian tidak berhasil mengetahui sampai kesemuanya dari jenis-jenis yang beliau tanyakan, dengan latar belakang beliau adalah sebagai pengusaha lulusan FISIPOL UGM.

Hal yang yang jarang saya dapatkan di bangku kuliah sampai saat ini, karena memang tidak dapat dipungkiri dari SD, SMP, SMA, dan saat ini berkuliah, saya belum pernah diminta untuk mempelajari hasil-hasil tani lokal. Kebanyakan hanya mengajarkan mengenai produk-produk hasil pertanian baik buah maupun sayuran secara umum. Padahal dengan mempelajari jenis-jenis hasil tani lokal, kita bisa mengetahui keunggulan produk dari budaya tani lokal yang ternyata tidak kalah dengan jenis produk pangan yang berasal dari luar. Hal ini sudah dibuktikan beliau dengan membuat kue yang berbahan dasar dari tepung ketela. Dan hasilnya juga tidak kalah enak dengan kue buatan tepung lainnya.

Prinsip ekonomi sederhana akan berpikir seperti ini, jika budaya memakan panganan lokal tidak dilestarikan maka produksi oleh pedagang pangan lokal akan menurun. Jika banyak produksi pangan lokal menurun, maka permintaan pasar akan produk hasil tani lokal juga akan menurun. Permintaan menurun sementara petani tetap menanam dan menghasilkan banyak hasil tani lokal maka barang atau bahan baku akan menumpuk. Jika demikian, dapat dipastikan bahwa harga produk hasil tani lokal akan mengalami penurunan harga. Tentu ini akan berdampak langsung dengan kesejahteraan petani ke depan.

Yang kedua adalah meningkatkan kesejahteraan penjual panganan lokal. Kecenderungan masyarakat yang suka makan di restoran cepat saji milik asing secara tidak langsung merupakan bentuk budaya yang tidak mendukung pangan lokal. Banyak alasannya, salah satunya adalah gengsi yang ingin dipertahankan. Menurut saya, panganan lokal kita tidak kalah enak. Kalau pun penasaran dengan menu-menu di restoran cepat saji, maka cukuplah sampai memuaskan rasa penasaran itu saja. Jangan sampai nanti menjadi gaya hidup, karena dengan membeli panganan lokal berarti kita juga menyumbang kepada penghasilan mereka para penjual panganan lokal. Dan jika penghasilan mereka bertambah diharapkan mereka akan lebih sejahtera.

Sebagai penutup, saya ingin mengajak teman-teman semua untuk turut dalam melestarikan budaya pangan lokal. Salam pangan lokal, untuk petani Indonesia sejahtera. Go pangan lokal!

 

note : Gambar diatas hanyalah ilustrasi aksi yang terjadi pada hari pangan lokal. Gambar diambil ketika kami (mahasiswa baru Fakultas Pertanian) sedang aksi pada tanggal 26 Agustus 2016

Cyber Campus yang bertanggung jawab

Cyber campus  adalah segala kegiatan perkuliahan yang dapat dilakukan secara online. Dalam era yang serba digital, kegiatan pun harus bisa memanfaatkan teknologi yang ada. Dengan cyber campus, seluruh mahasiswa dapat lebih mudah mengakses informasi yang menunjang perkuliahannya. Hal-hal yang dapat dimunculkan dalam cyber campus antara lain belajar dengan dosen melalui streaming video, mengakses jurnal-jurnal penelitian secara online, mendapatkan bahan perkuliahan lebih mudah melalui E-book, penyerahan tugas yang lebih mudah dengan dosen melalui email, dan seterusnya.

Sisi positifnya tentu mahasiswa lebih mudah dalam menjalankan kegiatan perkuliahannya karena dapat mengakses informasi dimana saja. Namun, Cyber campus juga memiliki kekurangan, jika kita terlalu banyak menjalankan kegiatan belajar melalui Streaming video, maka sosialisasi kita dengan teman dikelas akan berkurang. Atau karena mudahnya mengakses jurnal secara online, kita semakin jarang masukke perpustakaan. Hal ini sangat disayangkan

Read More

The Differences Between Online and Traditional Classroom Educations

You may be debating whether you should attend classes on campus or online. Before you make a decision, read the following pros and cons of Web-based and traditional classroom experiences.

Traditional Education

The traditional schooling experience requires you to attend classes in person and on campus. It makes sense to attend classes in person if you decide to live in the dorms or are an incoming freshmen who wants the real college experience. There are certainly more opportunities to join clubs, associations, or fraternities/sororities while taking classes on campus.

Also, you may need additional assistance from guidance counselors and professors, which is more readily available on campus. Traditional classes may be a better choice for students who aren’t very savvy with technology or who enjoy interacting with teachers and professors face-to-face.

In addition, there are majors that require more hands-on training during class, such as:

  • Automobile Mechanic/Technician
  • Computer Science/ Engineering
  • Heating, Ventilation, Air Conditioning Technician
  • Nursing

 

Internet Job Search

Read More